PROBLEMATIKA UU NARKOTIKA

    I.        Pendahuluan.
          Saat ini Penulis merupakan Advokat magang di salah satu Posbakum Pengadilan Negri di Jakarta. Dalam menjalani profesi Advokat di Posbakum Pengadilan Negri, Penulis sering menghadapi situasi yang dilematis. Terutama dalam menangani perkara-perkara Narkotika. Secara umum situasi dilematis tersebut hadir baik dari sisi formil maupun materil penganganan perkaranya. Alhasil Penulis berusaha mengurai permasalahan yang dihadapi Penulis secara umum, menurut pandangan Penulis.

 II.        Identifikasi Pelaku Perkara Narkotika Terdahdap diri Sendiri.
          Dari Pandangan Penulis UU No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika (selanjutnya akan ditulis sebagai UU Naroktika) secara garis besar membagi pelaku tindak pidana narkotika menjadi 2 yakni, Pelaku Tindak Pidana Narkotika bagi diri sendiri dan Pelaku Tindak Pidana Narkotika bagi orang lain. Saat ini Penulis hanya akan mengulas mengenai Pelaku Tindak Pidana Narkotika bagi diri sendiri.

          Secara umum indentifikasi Pelaku Tindak Pidana Narkotika bagi diri sendiri di bagi 3 yakni :

1.     Pecandu Narkotika.
         Pengertian Pecandu Narkotika sendiri dalam UU Naroktika terdapat dalam Pasal 1 angka 13:
        
         orang yang menggunakan atau menyalahgunakan Narkotika dan dalam keadaan ketergantungan pada Narkotika, baik secara fisik maupun psikis.”

Berdasarkan pengertian diatas, Penulis memahaminya sebagai berikut. Kata “atau” dalam orang yang menggunakan atau menyalahgunakan Narkotika bermakna merupakan kata yang mengkondisikan 2 posisi yang berbeda. Kondisi yang pertama merupakan kondisi Legal bila dilihat dari kata orang yang menggunakan dan kondisi yang lainnya merupakan kondisi Ilegal bila dilihat dari kata menyalahgunakan Narkotika. Kondisi Legal sendiri dapat dilihat dalam Pasal 53 UU Naroktika yang isinya, :
(1.)    Untuk kepentingan pengobatan dan berdasarkan indikasi medis, dokter dapat memberikan Narkotika Golongan II atau Golongan III dalam jumlah terbatas dan sediaan tertentu kepada pasien sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2.)    Pasien sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat memiliki, menyimpan, dan/atau membawa Narkotika untuk dirinya sendiri.
(3.)    Pasien sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus mempunyai bukti yang sah bahwa Narkotika yang dimiliki, disimpan, dan/atau dibawa untuk digunakan diperoleh secara sah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Sedangkan untuk Kondisi Ilegal banyak sekali terdapat dalam UU ini.

                   Dalam pengertian yang sederhana dapat disimpulkan sebagai berikut, bahwa kata “orang yang menggunakan” merujuk pada Pecandu Narkotika yang dalam masa perawatan Rehabilitasi, sedangan kata “menyalahgunakan Narkotika” merujuk pada Pecandu Narkotika yang tidak dalam perawatan Rehabilitasi.

2.    Penyalahguna Narkotika.
       Pengertian Penyalahguna Narkotika sendiri ada dalam Pasal 1 angka 15 UU Naroktika yang isinya :

        “Penyalah Guna adalah orang yang menggunakan Narkotika tanpa hak atau melawan hukum.

        Menurut Penulis, pengertian Penyalahguna Narkotika dalam UU ini tidak dapat ditafsirkan lain.


3.    Korban Penyalahguna Narkotika.
        Pengertian Korban Penyalaguna Narkotika sendiri dalam UU Naroktika diatur dalam Penjelasan pasal 54, yang isinya :

        “korban penyalahgunaan Narkotika adalah seseorang yang tidak sengaja menggunakan Narkotika karena dibujuk, diperdaya, ditipu, dipaksa, dan/atau diancam untuk menggunakan Narkotika.

        Menurut Penulis, pengertian Korban Penyalahguna Narkotika dalam UU ini tidak dapat ditafsirkan lain.


III.        Problematika dalam Prakteknya.
         Sebelum menyinggung permasalahan dalam pengidetifikasian Pelaku Tindak Pidana Narkotika bagi diri sendiri, Penulis akan sedikit mengulas mengenai Inkonsistensi istilah-istilah dalam UU Narkotika, salah satu contoh ada dalam Pasal 4 huruf (d) UU Naroktika. Dalam pasal ini jelas tertulis :

d.    menjamin pengaturan upaya rehabilitasi medis dan sosial bagi Penyalah Guna dan pecandu Narkotika.”

                   Kata “Penyalahguna”  dalam pasal diatas jelas merujuk pada Pasal 1 angka 15 UU Naroktika. Yang konsekuensi logisnya akan dipidana dengan Pasal 127 angka 1 UU Naroktika, yang berbunyi :

a.    “Narkotika Golongan I bagi diri sendiri dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun;
b.     b. Narkotika Golongan II bagi diri sendiri dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun; dan
c.    c. Narkotika Golongan III bagi diri sendiri dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun.

                   Dari penguraian diatas seolah tidak ditemukan konsistensi, karena dalam Pasal 4 huruf (d) UU Naroktika, Penyalahguna Narkotika seolah diberi ruang guna mendapat Rehabilitasi, sedangkan dalam Pasal 127 angka 1 UU Naroktika jelas sekali Penyalahguna dipidana.


                   Sekarang Penulis akan masuk kedalam problematika identifikasi Pelaku Tindak Pidana Narkotika bagi diri sendiri. Dalam praktiknya baik litigasi maupun non-litigasi, sering terjadi kerancuan istilah dalam mengklasifikasikan Pelaku Tindak Pidana Narkotika bagi diri sendiri. Hal yang umum terjadi adalah kerancuan antara Pecandu Narkotika (Ilegal) dengan Penyalahguna Narkotika. Maka berdasarkan uraian diatas, Penulis berpendapat bahwa setiap Pecandu Narkotika (Ilegal) sudah pasti Penyalahguna Narkotika, namun setiap Penyalahguna Narkotika belum tentu Pecandu Narkotika (Ilegal). Karena Pecandu Narkotika hanya dapat dibuktikan di persidangan melalui pembuktian terhadap tingkat ketergantungan Pelaku Tindak Pidana, yang dalam Pasal 1 angka 14 dikatakan bahwa

“Ketergantungan Narkotika adalah kondisi yang ditandai oleh dorongan untuk menggunakan Narkotika secara terus-menerus dengan takaran yang meningkat agar menghasilkan efek yang sama dan apabila penggunaannya dikurangi dan/atau dihentikan secara tiba-tiba, menimbulkan gejala fisik dan psikis yang khas.”


                    Hal lain yang sering kali terjadi adalah kerancuan istilah antara Penyalahguna Narkotika dengan Korban Penyalahguna Narkotika. Apabila orang awam (tidak mengerti hukum) tidak membedakan istilah diatas itu adalah hal lumrah dan dapat dimengerti. Namun apabila para Sarjana Hukum tidak dapat membedakan istilah diatas maka cukup mengherankan. Dalam UU Naroktika Penyalahguna Narkotika dan Korban Penyalahguna Narkotika sangatlah berbeda. Perbedaannya ada pada awal mula (penyebab) si Pelaku Tindak Pidana Narkotika menggungakan Narkotika tsb. Apabila si Pelaku Tindak Pidana Narkotika menggunakan/memakai Narkotika pertama kali atas kesadaran sendiri, maka Ia adalah Penyalahguna Narkotika, sedangkan apabila pada saat menggunakan/memakai Narkotika pertama kali Ia tidak sengaja, baik dibujuk, diperdaya, ditipu, dipaksa, dan/atau diancam maka Ia termasuk dalam Korban Penyalahguna Narkotika. Maka berdasarkan uraian diatas, Penulis berpendapat bahwa setiap Korban Penyalahguna Narkotika sudah pasti Penyalahguna Narkotika, sedangkan setiap Penyalahguna Narkotika belum tentu Korban Penyalahguna Narkotika. Kata kuncinya adalah pada saat menggunakan pertama kali.

 IV.        Putusan Rehabilitasi Tanpa Assesmen
          Banyak Putusan dalam Tindak Pidana Narkotika yang dalam amarnya menyatakan bahwa Terdakwa layak/pantas dijatuhkan hukuman Rehabilitasi. Dalam UU Narkotika dengan tegas dikatakan bahwa hanya Pecandu Narkotika dan Korban Penyalahguna Narkotika yang wajib di Rehabilitasi (Pasal 54 UU Narkotika). Pasal 54 UU Narkotika ini tidak dapat ditafsirkan lain. Maka ketika suatu Putusan menyatakan Terdakwa dijatuhi hukuman Rehabilitasi, namun dalam fakta di Persidangan tidak ditemukan fakta “Assesmen” yang menyatakan Terdakwa adalah Pecandu Narkotika, maka Penulis sangat tidak setuju terhadap putusan tersebut. Hakim dalam persidangan tidaklah mungkin dapat membuktikan Terdakwa adalah Pecandu Narkotika dengan cara tanya jawab dipersidangan (wawancara) dan Observasi terhadap Terdakwa baik verbal maupun non-verbal. Kalaupun Hakim bersikeras cara tersebut dapat membuktikan Terdakwa adalah Pecandu Narkotika, Penulis berpendapat hal itu baru 50% nya saja, karena hanya menyangkut pembuktian “Psikis” saja, sedangkan pembuktian “Fisik” tidak terpenuhi. Yang dalam Pasal 1 angka 13 dan 14, jelas mengatakan Pecandu Narkotika memiliki Ketergantungan tergadap Narkotika baik secara “Fisik” maupun “Psikis”

          Jadi kesimpulan Penulis, Hakim yang memutuskan pidana Rehabilitasi terhadap Terdakwa tanpa “Assesmen” adalah putusan yang keliru, karena Hakim telah melampaui kompetensi dan kewenangan-Nya. Karena “Assesmen” hanya dapat dilegitimasi oleh pihak yang berkompeten, yakni dalam hal “Fisik” adalah dokter yang membidanginya, yang biasanya dilakukan melalui test rambut, urine, darah, dll. Sedangkan untuk hal “Psikis” hanya dokter/ahli Psikologi lah yang dapat melegitimasinya.


Komentar